Get this widget!

Rabu, 31 Maret 2010

Saat Terutang, Penyetoran, Dan Pelaporan


1.
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang
pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya
penghasilan yang bersangkutan;

Yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah
saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode
pembukuan yang dianutnya.
2. Pajak Penghasilan Pasal 23 harus
disetor oleh Pemotong Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
3. Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah
Masa Pajak berakhir.
4. Pemotong PPh Pasal 23 harus
memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang
dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong.


Bukan Objek Pajak


1. penghasilan yang
dibayar atau terutang kepada bank;
2. sewa yang dibayarkan
atau terutang sehubungan dengan sewa guna usahaa dengan hak opsi;
3. dividen atau bagian
laba yang diterimaa atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik
Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat :
a. dividen berasal dari cadangan
laba yang ditahan; dan
b. bagi Perseroan Terbatas, Badan
Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25%
dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut;
4. bunga obligasi yang
diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak
pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha:
5. bagian laba yang
diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha
yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan
syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. merupakan perusahaan kecil,
menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia;
6. Sisa Hasil Usaha
koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7. bunga simpanan yang
tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Sesuai Keputusan Menteri Keuangan telah ditetapkan batas jumlah sebesar Rp.
240.000,00 setiap bulan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;

Atas bunga simpanan yang jumlahnya di atas Rp. 240.000,00 dipotong PPh
Pasal 23 sebesar 15% dari seluruh bunga yang diterima dan bersifat final.


Perkiraan Penghasilan Neto Atas Penghasilan Sewa (Kecuali Persewaan Tanah/Bangunan) Dan Penggunaan Harta


No. Perkiraan
Penghasilan Neto
Jenis
Jasa
1. 20%
dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Sewa dan
penghasilan lainnya sehubungan dengan pengunaan harta khusus kendaraan
angkutan darat.
2. 40%
dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang
telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Tarif Dan Objek Pajak

1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas :
a. dividen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "g" Undang-undang PPh;
b. bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "f";
c. royalti;
d. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Ayat (1) huruf "e" Undang-undang PPh.
Hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan 21 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan, misalkan kegiatan olah raga, keagamaan, kesenian, dan kegiatan lainnya.
Adapun hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan 23 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan.
2. Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.
3. Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas :
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf "c" Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

Pemotong Pajak

1. badan pemerintah;
2. subjek pajak badan dalam negeri;
3. penyelenggara kegiatan;
4. Bentuk Usaha Tetap;
5. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6. orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23, yaitu :
a. akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas; atau
b. orang pribadi yagn menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran beruapa sewa.


Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap.


Bagaimana tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22?

Atas Impor
Impor dilengkapi dengan LKP PPh Pasal 22 disetor oleh importir ke Bank Devisa dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai bukti pungutan pajak;
Impor tidak dilengkapi dengan LKP PPh Pasal 22 dipungut dan disetor oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap 3 yaitu :

Lembar pertama untuk pembeli;
Lembar kedua untuk disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagai lampiran laporan bulanan;
Lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22 atas impor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan ke Kantor Pos dan Giro atau bank-bank persepsi, dan harus melaporkan hasil pemungutannya tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak secara mingguan selambat-lambatnya tujuh hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.

Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN/D, harus memungut dan menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22 ke Kantor Pos dan Giro atau bank-bank persepsi, pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran, dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi oleh dan atas nama rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan. SSP berlaku sebagai bukti pungutan pajak. Pelaporan harus disampaikan selambat-lambatnya empat belas hari setelah Masa Pajak berakhir.
Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, rokok, kertas, baja dan otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memungut PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri dan wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap tiga, yaitu :
Lembar pertama untuk pembeli;
Lembar kedua untuk disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagai lampiran laporan bulanan;
Lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Badan usaha tersebut harus menyetorkan secara kolektif pemungutan PPh Pasal 22 selambat-lambatnya tanggal lima belas bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya dua puluh hari setelah Masa Pajak berakhir.
PPh Pasal 22 dari penyerahan oleh Pertamina atas hasil produksinya, dari penyerahan bahan bakar minyak dan gas oleh badan usaha selain Pertamina, dan dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Bulog, dipungut dengan cara dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order) ditebus, dengan menggunakan SSP yang juga merupakan bukti pungutan pajak.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya dua puluh hari setelah Masa Pajak berakhir.

Kapan saat terutang dan pelunasan/ pemungutan PPh Pasal 22?

PPh Pasal 22 atas impor terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD).
PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah Pusat/ Daerah, BUMN/D, yang dibayar dari belanja negara dan/atau belanja daerah, terutang dan dipungut pada setiap dilakukan pembayaran.
PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dipungut pada saat penjualan.
PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas harus dilunasi sendiri oleh penyalur, agen, atau pembeli lainnya sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order) ditebus;
PPh Pasal 22 atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Bulog harus dilunasi sendiri oleh penyalur, grosir,sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order) ditebus.


Apa saja yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22?

Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 :
Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh.
Pengecualian tersebut, harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk :
yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE);
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973;
berupa kiriman hadiah;
untuk tujuan keilmuan.
Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 500.000,00 (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah).
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos, dan telepon.


Berapakah besarnya pungutan PPh Pasal 22 atas penyerahan barang yang dilakukan oleh Bulog?

Atas penyerahan barang yang dilakukan oleh Bulog berupa :
Gula pasir kepada :
Penyalur sebesar Rp 380,00/kuintal;
Grosir sebesar Rp 270,00/kuintal;
Pembeli lainnya sebesar Rp 650,00/kuintal
Tepung terigu kepada :
Penyalur sebesar Rp 53,00/zak;
Grosir sebesar Rp 38,00/zak;
Pembeli lainnya sebesar Rp 91,00/zak
Catatan :

PPh Pasal 22 atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Bulog bersifat final.


Berapakah besarnya pungutan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar

Atas penjualan hasil produksi Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas kepada penyalur dan/atau agennya :
premium untuk SPBU Swastanisasi sebesar 0,3 % dari penjualan atau Rp 2.100,00/KL, dan untuk SPBU Pertamina sebesar 0,25 % dari penjualan atau Rp 1.750,00/KL;
solar untuk SPBU Swastanisasi sebesar 0,3 % dari penjualan atau Rp 1.140,00/KL dan untuk SPBU Pertamina sebesar 0,25 % dari penjualan atau Rp 950,00/KL;
premix untuk SPBU Swastanisasi sebesar 0,3 % dari penjualan dan untuk SPBU Pertamina sebesar 0,25 % dari penjualan;
minyak tanah sebesar 0,3 % dari penjualan atau Rp 912,00/KL;
gas LPG sebesar 0,3 % dari penjualan atau Rp 2.250,00/KL;
pelumas sebesar 0,3 % dari penjualan.
Catatan :
PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Pertamina dan badan lain yang bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas, bersifat final.


Berapakah besarnya pungutan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi yang dilakukan badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, rokok kretek

industri semen sebesar 0,25 % dari dasar pengenaan pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
industri rokok kretek/putih sebesar 0,1 % dari harga bandrol. dan bersifat final;
industri kertas sebesar 0,1 % dari DPP PPN;
industri baja sebesar 0,3% dari DPP PPN;
industri otomotif sebesar 0,45 % dari DPP PPN;
yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;


Berapakah besarnya pungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA dan Bendaharawan Pemerintah serta BUMN/ BUMD ?

Atas pembelian barang yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara / Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) sebesar 1,5 % dari harga pembelian;


Berapa besarnya pungutan PPh Pasal 22 atas impor?

Atas impor :
yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), sebesar 2,5 % dari nilai impor;
yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5 % dari nilai impor;
yang tidak dikuasai, sebesar 7,5 % dari harga jual lelang.
Catatan :
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor.


Siapa pemungut PPh Pasal 22?

Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
BUMN/D, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang dari belanja negara dan/atau belanja daerah;
Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas, atas penjualan hasil produksinya;
Badan Urusan Logistik (Bulog), atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu.


Apa yang dimaksud dengan PPh Pasal 22?

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh :
Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.


Apa kewajiban pemotong PPh Pasal 21 untuk penghasilan yang bersifat tidak tetap yang dibebankan kepada negara?

memotong PPh Pasal 21 sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah penghasilan bruto, dan bersifat final;
memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada penerima penghasilan;
menyetorkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah dilakukan pemotongan pajak;
melaporkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dan disetor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah bulan dilakukan pemotongan pajak.


Apa kewajiban pemotong PPh Pasal 21 untuk penghasilan yang bersifat tetap yang dibebankan kepada negara?

menghitung PPh Pasal 21 terutang yang ditanggung pemerintah;
mencantumkan PPh Pasal 21 dalam daftar gaji, pembayaran pensiun, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan pemberian imbalan kepada pegawai;
melaporkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong (walaupun nihil) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah bulan dilakukannya pemotongan pajak.


Siapakah pemotong PPh Pasal 21 untuk penghasilan yang bersifat tetap dan tidak tetap yang dibebankan kepada negara?

Bendaharawan Pemerintah;
Pemegang Kas ABRI;
Perusahaan Perseroan Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero Taspen);
Asuransi Anggota ABRI (ASABRI).


Bagaimana pengenaan PPh Pasal 21 untuk penghasilan yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh pejabat negara, PNS, anggota ABRI, dan pensiunan?

Penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, anggota ABRI, dan Pensiunan berupa honorarium dan imbalan lain yang sifatnya tidak tetap / teratur dengan nama apapun yang dibebankan kepada Keuangan Negara/Daerah dipotong PPh Pasal 21 oleh Bendaharawan Pemerintah sebesar 15 % bersifat final, kecuali yang dibayarkan kepada :
PNS Golongan II/d ke bawah ;
Anggota ABRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah.


Penghasilan apa saja yang PPh Pasal 21-nya Ditanggung Pemerintah?

Penghasilan yang diterima oleh :
Pejabat Negara berupa gaji kehormatan dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait atau imbalan tetap sejenisnya;
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Anggota ABRI berupa gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan gaji;
Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya berupa uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan uang pensiun;
yang dibebankan kepada Keuangan Negara/Daerah, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang terutang ditanggung pemerintah.


Bagaimana penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk petugas dinas luar asuransi dan petugas penjaja barang dagangan yang menerima komisi?

Petugas dinas luar asuransi dan petugas penjaja barang dagangan yang menerima komisi.
Atas komisi yang diterima diterapkan tarif sebesar 10% bersifat final dengan syarat petugas tersebut bukan pegawai tetap.


Bagaimana penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun?

Penerima hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Atas hadiah dan penghargaan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif sebesar 15% dari jumlah bruto, dan bersifat final.


Bagaimana penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima uang pesangon yang dibayarkan sekaligus?

Penerima uang pesangon yang dibayarkan sekaligus.
Dipotong pajak sebesar :

10% dari penghasilan bruto jika penghasilan brutonya tidak lebih dari Rp 25.000.000,00.
15% dari penghasilan bruto jika penghasilan brutonya lebih dari Rp 25.000.000,00
Kecuali, atas jumlah penghasilan bruto Rp 17.280.000,00 atau kurang, tidak dipotong PPh Pasal 21.


Bagaimana penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima uang tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Tabungan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus

Penerima uang tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Tabungan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus.
Dipotong dengan tarif bersifat final sebesar :

10% dari penghasilan bruto jika penghasilan brutonya tidak lebih dari Rp 25.000.000,00.
15% dari penghasilan bruto jika penghasilan brutonya lebih dari Rp 25.000.000,00
Kecuali, atas jumlah penghasilan bruto Rp 8.640.000,00 atau kurang, tidak dipotong PPh Pasal 21.


Bagaimana penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima upah harian, mingguan, satuan, borongan dan uang saku harian?

Penerima upah harian, mingguan, satuan, borongan dan uang saku harian.
Tarif sebesar 10% diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp 24.000,00 tetapi tidak melebihi Rp 240.000,00 dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan.

Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp 240.000,00 maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360.

Yang dimaksud dengan :

Upah/uang saku harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah hari kerja;
Upah mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara mingguan;
Upah satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan yang dihasilkan;
Upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu.


Bagaimana penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas?

Tarif yang digunakan adalah sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang.
Perkiraan penghasilan neto adalah sebesar 40 % dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun.


Bagaimana penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai?

Pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai.
Penghasilan Kena Pajak dihitung dari penghasilan bruto dikurangi dengan PTKP.
PTKP sama dengan PTKP untuk pegawai tetap.
Tarif yang digunakan sama dengan tarif untuk pegawai tetap.


Bagaimana penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima pensiun yang menerima pensiun secara bulanan?

Penerima pensiun yang menerima pensiun secara bulanan.
Penghasilan Kena Pajak dihitung dari penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan PTKP
Besarnya biaya pensiun yang diperkenankan adalah sebesar 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun setinggi-tingginya Rp 432.000,00 setahun atau Rp 36.000,00 sebulan.
PTKP sama dengan PTKP untuk pegawai tetap.
Tarif yang digunakan sama dengan tarif untuk pegawai tetap.


Berapa besar tarif pajak sesuai dengan Pasal 17 ?

Tarif yang digunakan adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak ;

Sampai dengan Rp 25.000.000,00 = 5 %
Di atas Rp 25.000.000,00 sampai dengan Rp 50.000.000,00 = 10 %
Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000.000,00 = 15 %
Di atas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00 = 25 %
Di atas Rp 200.000.000,00 = 35 %


Berapa besar tarif pajak sesuai dengan Pasal 17 ?

Tarif yang digunakan adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak ;

Sampai dengan Rp 25.000.000,00 = 5 %
Di atas Rp 25.000.000,00 sampai dengan Rp 50.000.000,00 = 10 %
Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000.000,00 = 15 %
Di atas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00 = 25 %
Di atas Rp 200.000.000,00 = 35 %


Berapa besarnya PTKP untuk diri pegawai, tambahan untuk pegawai yang kawin, tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam

PTKP :
Untuk diri pegawai
setahun = Rp 2.880.000,00
sebulan = Rp 240.000,00
Tambahan untuk pegawai yang kawin
setahun = Rp 1.440.000,00
sebulan = Rp 120.000,00
Tambahan untuk seorang istri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain Rp. 2.880.000,00
Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang setiap keluarga Rp 1.440.000,00


Berapa besar tarif biaya jabatan ?

Biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang besarnya 5% dari penghasilan bruto setinggi-tingginya Rp 1.296.000,00 setahun atau Rp 108.000,00 sebulan.


Bagaimana penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap

Penghasilan Kena Pajak dihitung dari penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun termasuk iuran Tabungan Hari Tua/Tunjangan Hari Tua (THT) (kecuali iuran Tabungan Hari Tua/THT pegawai negeri sipil/anggota ABRI/pejabat negara), dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).


Apa yang harus dilaksanakan pegawai tetap bila ia berhenti bekerja atau pensiun?

Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.


Apa kewajiban pemotong pajak PPh Pasal 21?

Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (KP.PPh.2.1/BP-95) baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun iuran pasti.
Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan (form 1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan dalam waktu dua bulan setelah tahun takwim berakhir.
Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
Penerima penghasilan wajib menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak PPh Pasal 21 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
Untuk melaksanakan kewajiban PPh Pasal 21, Pemotong Pajak PPh Pasal 21 / pemberi kerja agar menggunakan Buku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21.


Penghasilan apa saja yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21?

Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apa pun yang diberikan oleh Pemerintah dan wajib pajak;
Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan penyelenggara Taspen serta THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apa pun yang diberikan oleh Pemerintah;
Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.


Penghasilan apa saja yang dipotong PPh Pasal 21?

Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan teratur,beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apa pun;
Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan yang biasanya dibayarkan sekali dalam setahun;
Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Tunjang Hari Tua (THT), uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis;
Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, termasuk tenaga ahli, pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, olahragawan, penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, moderator, pengarang, peneliti, pemberi jasa dibidang teknik, kolportir iklan, pengawas, pengelola proyek, pembawa pesanan peserta perlombaan, petugas penjaja barang dagangan, petugas dinas luar asuransi, peserta pendidikan, pelatihan, dan pemaganggan;
Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dengan nama apa pun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak.


Siapa saja yang tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan/ yang tidak dipotong PPh Pasal 21?

Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
Bukan warga negara Indonesia dan
Tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.


Siapa saja yang dipotong PPh Pasal 21?

Pegawai tetap, yaitu :
Orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung.
Pegawai lepas, yaitu :
Orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
Penerima pensiun, yaitu :
Orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.
Penerima honorariun, yaitu :
Orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya.
Penerima upah, yaitu :
Orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.


Siapa saja yang menjadi pemotong PPh Pasal 21?

Pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, termasuk bentuk usaha tetap, baik merupakan induk maupun cabang, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan;
Dana pensiun, PT Taspen, PT Astek, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) lainnya, serta badan-badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT);
Perusahaan, badan termasuk bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas;
Yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan , kesenian, olah raga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, dan organisasi dalam bentuk apa pun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi;
Perusahaan, badan termasuk bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan.


Apa yang dimaksud dengan PPh Pasal 21?

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan.


Pajak Penghasilan Ps.21

Pajak Penghasilan Ps.21
Rangkuman pajak dalam posting ini hanya memfokuskan pembahasan tentang pajak penghasilan pasal 21 dengan segala pernak-perniknya. Semua tulisan masih asli dari nara sumbernya dan untuk nara sumber, saya ucapkan terima kasih atas keiklasannya. Penghasilan pasal 21 merupakan salah satu jenis pajak penghasilan yang sangat penting dalam sistem perpajakan di Indonesia, apalagi PPh pasal 21 disamping merupakan pajak masa juga merangkap sebagai pajak tahunan (mulai tahun 2009 ini, SPT Tahunan pasal 21 tidak diperlukan lagi). . Dalam memahami pajak, demikian pula untuk memahami PPh pasal 21 tidak dapat terlepas dari masalah siapa subjek pajak, siapa bukan subjek pajak, apa objek pajak, apa bukan objek pajak, contoh perhitungan, perlakuan khusus dan aplikasi dalam SPT Masa.


Pajak Penghasilan Ps.17

Kalau ditanyakan mengenai PPh pasal 17 itu sebenarnya berkaitan dengan tarif PPh pasal 17 dalam UU PPh. PPh pasal 17 ini identik dengan tarif perhitungan PPh Terhutang yang mana sejak tanggal 1 Januari 2009 lalu sudah mulai diterapkan tarif baru berdasarkan UU no 36 tahun 2008, yaitu tarif pajak untuk WR Orang Pribadi dan WP Badan.
Adapun tarif berdasarkan UU PPh terbaru adalah :
Orang Pribadi
5% x Rp 50.000.000
15% x Rp 200.000.000
25% x Rp. 250.000.000
30% x selebihnya

Badan
Untuk tahun 2009 = 28%
Untuk tahun 2010 dan seterusnya 25%

Kaitan PPh Masa dengan PPh Tahunan

PPh Masa yang dipungut dan dipotong secara bulanan oleh pihak ketiga ada yang final dan ada yang tidak final. Objek pajak yang dipotong secara final maka PPhnya tidak dapat dikreditkan terhadap PPh terhutang tahun fiskal tersebut dan demikian pula objek pajaknya tidak dapat digabungkan dengan penghasilan usaha lain dalam perhitungan pajak pada tahun fiskal tersebut.
Pada kasus pemotongan dan pemungutan PPh secara tidak final maka konsekuensi logisnya adalah objek pajaknya dapat digabungkan dengan penghasilan usaha lainnya dan PPh yang sudah dipotong atau dipungut dapat dikreditkan terhadap PPh terhutang tahun ybs. PPh masa yang dapat dikreditkan ini meliputi PPh Pasal 21 ( pemotongan pajak terhadap imbalan yang diterima WP Orang Pribadi karena adanya hubungan kerja), PPh Pasal 22 impor ( pemungutan terhadap nilai impor dari kegiatan impor ), PPh Bendaharawan (pemotongan yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah), PPh Pasal 23 ( pemotongan terhadap penghasilan yang diperoleh karena kepemilikan modal, PPh Pasal 24 ( kredit pajak LN) dan PPh Pasal 25 (angsuran pajak bulanan sepanjang tahun fiskal). Sehingga dengan demikian maka formula selalu digunakan adalah :
PPh terhutang ......... xxx
Kredit pajak :
PPh Pasal 21.....xxx
PPh Pasal 22.....xxx
PPh Pasal 23.....xxx
PPh pasal 24.....xxx
PPh Pasal 25.....xxx +
Jumlah..................xxx -
PPh Kurang/Lebih Bayar.....xxxx

BATAS WAKTU PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK


BATAS WAKTU PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK

(Berlaku Mulai 1 Januari 2001)




    BATAS WAKTU PEMBAYARARAN / PENYETORAN PAJAK





















































































    No.


    Jenis SPT


    Yang menyetor SPT


    Batas Waktu Penyampaian Terakhir

     

    SPT MASA

       

    1 


    PPh Ps. 21


    Pemotong PPh Ps. 21


    Tanggal 10 bulan berikutnya

    2. 


    PPh Ps. 22, PPN & PPnBM atas impor


    importir


    Saat pembayaran bea masuk atau pada saat penyelesaian dokumen impor.

    3. 


    PPh Ps. 22, PPN & PPnBM atas impor


    Bea Cukai


    1 hari setelah pemungutan

    4. 


    PPh Ps. 22


    Bendaharawan Pemerintah


    Pada hari yang sama dg pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yg dibiayai dari belanaj Negara atau belanja Daerah.

    5. 


    PPh Ps. 22 Pertamina


    Wajib Pajak


    Sebelum penebusan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order).

    6. 


    PPh Ps. 22 oleh badan tertentu (selain pertamina)


    Wajib Pajak


    Tanggal 10 bulan berikutnya

    7. 


    PPh Ps. 23/26


    Pemotong PPh Ps. 23/26


    Tanggal 10 bulan berikutnya

    8. 


    PPh Ps. 25


    Wajib Pajak


    Tanggal 15 bulan berikutnya

    9. 


    PPN & PPnBM


    Pengusaha Kena Pajak


    Tanggal 15 bulan berikutnya

    10. 


    PPN & PPnBM


    Bendaharawan / instansi pemerintah


    Tanggal 7 bulan berikutnya

    11. 


    PPN & PPnBM


    Pemungut PPN selain Bendaharawan / Instansi Pemerintah


    Tanggal 15 bulan berikutnya

     

    SPT TAHUNAN

       

    12. 


    SPT Tahunan PPh


    Wajib Pajak


    3 bulan setelah akhir tahun pajak

    13. 


    SPT Tahunan Pasal 21


    Pemotong PPh Pasal 21


    3 bulan setelah akhir tahun pajak



     


    BATAS WAKTU PELAPORAN PAJAK






































































    No.


    Jenis SPT


    Yang Menyampaiakan SPT


    Batas Waktu Penyampaian Terakhir

     

    SPT MASA

       

    1. 


    PPh Ps. 21


    Pemotong PPh Ps. 21


    Tanggal 20 setelah akhir masa pajak

    2. 


    PPh Ps. 22


    Bea Cukai


    7 hari setelah penyetoran

    3. 


    PPh Ps. 22


    Pertamina dan Badan Tertentu


    Tanggal 20 setelah akhir masa pajak

    4. 


    PPh Ps. 22 Bendaharawan


    Bendaharawan


    Tanggal 14 setelah akhir masa pajak

    5. 


    PPh Ps. 23/26


    Pemotong PPh Ps. 23/26


    Tanggal 20 setelah akhir masa pajak

    6. 


    PPN dan PPnBM


    Pengusaha Kena Pajak (Wajib Pajak)


    Tanggal 20 setelah akhir masa pajak

    7. 


    PPN dan PPnBM


    Bendaharawan


    Tanggal 14 setelah akhir masa pajak

    8. 


    PPN dan PPnBM


    Bea Cukai


    7 hari setelah penyetoran

     

    SPT TAHUNAN

       

    9. 


    SPT Tahunan PPh


    Wajib Pajak


    3 bulan setelah akhir tahun pajak

    10. 


    SPT Tahunan Pasal 21


    Pemotong PPh Pasal 21


    3 bulan setelah akhir tahun pajak



 


Sumber :




  • Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

    Nomor 541 / KMK. 04 / 2000, Tanggal 22 Des 2000.

  • UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana

    telah diubah terakhir dengan 16 Tahun 2000.



Copyright KPP Parepare Online (c) 2001.





Senin, 29 Maret 2010

Biaya Kualitas = Quality Cost

Biaya Kualitas

Biaya kualitas ini telah menjadi isu yang sangat penting dalam era perusahaan global. Perusahaan yang bertaraf world class jangan sampai melupakan apa yang dinamakan dengan biaya kualitas ini.

Macam-macam biaya kualitas :

* Biaya pencegahan, biaya yang terjadi untuk mencegah kegagalan produk. Biaya-biaya ini dapat berupa biaya mendesain produk, sistem produksi berkualitas tinggi atau pelatihan karyawan agar berkualitas tinggi.

* Biaya penilaian, biaya yang terjadi untuk mendeteksi kegagalan produk. Biaya-biaya ini dapat berupa biaya inspeksi dan pengujian bahan.

* Biaya kegagalan, biaya yang terjadi manakala kegagalan produksi telah terjadi. Kegagalan itu sendiri ada 2 macam, kegagalan yang datang dari dalam atau kegagalan dari luar. Kegagalan dari dalam atau internal, misalnya adanya barang cacat atau rusak atau selama proses produksi. Sedangkan kegagalan dari luar setelah produk dijual ke pasar bebas, misalnya biaya pelayanan purna jual, biaya penanganan keluhan pelanggan dst.

Balanced Scorecard

Balanced Scorecard

Balanced Scorecard merupakan suatu kumpulan ukuran kinerja yang teraintegrasi yang digunakan untuk mengukur keberhasilan strategi perusahaan. Ada empat kelompok perspektif yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan balanced scorecard, yaitu :

* Perspektif Keuangan
* Perspektif Konsumen
* Perspektif Bisnis Internal
* Perspektif Learning dan Growth


Pengembalian Investasi = Return On Investment (ROI)

Return On Investment (ROI)
Pengembalian Investasi

Return On Investment


Return On Investment sangat penting diketahui untuk menilai tentang keberhasilan suatu investasi atau kinerja investasi. Untuk mengatakan bahwa suatu angka ROI itu tinggi atau rendah dibutuhkan pembanding, yaitu bisa dengan membandingkan dengan ROI tahun-tahun sebelumnya atau ROI industri atau ROI yang disyaratkan.



ROI = (Laba Neto Operasi/Penjualan) x ( Penjualan/Rata-rata aktiva Operasional)


Laporan Segmen = Segment Report

Analisa Laporan Segmen
Laporan Segmen


Laporan Segmen adalah laporan rugi laba yang menyajikan informasi tentang laporan rugi laba untuk setiap segmen usaha. Dengan adanya laporan segmen maka akan diketahui bagaimana kinerja dari masing-masing segmen usaha tersebut. Output dari metode absorption berupa laporan rugi laba konvensional memberikan informasi untuk penyusunan laporan segmen, maksudnya laporan rugi laba konventional kita olah lagi dengan menggunakan analisa perilaku biaya yang menghasilkan laporan segmen.


Lebih tepat dikatakan bahwa laporan rugi laba konvensional menyajikan kinerja perusahaan dalam suatu periode tertentu secara komprehensif atau umum. Lebih dari itu dalam penyusunannya digunakan metode absorption atau full costing. Sedangkan laporan rugi laba segmen disusun dengan menggunakan perilaku biaya yang menghasilkan kinerja perusahaan secara detail untuk setiap segmen usaha. Untuk keperluan pengukuran kinerja manajer segmen lebih tepat digunakan laporan rugi laba segmen daripada laporan rugi laba konvensional.


Biaya Standar = Standard Cost

Biaya Standar

Biaya Standar merupakan biaya yang dijadikan acuan atau batasan dalam perhitungan biaya. Acuan seperti ini lazimnya digunakan pada biaya produksi yang meliputi biaya standar bahan langsung, biaya standar tenaga kerja langsung dan biaya standar overhead pabrik variabel.

Biaya Standar
Formula:

Biaya Standar Bahan Langsung = Standar Kuantitas x Standar Harga

Catatan:
Standar Kuantitas adalah batasan kuantitas bahan langsung yang digunakan untuk menghasilkan satu unit produk jadi.

Standar harga adalah batasan harga pembelian bahan langsung per unit yang dianggarkan.

Biaya Standar Tenaga Kerja Langsung = Standar Kuantitas x Standar Tarif

Catatan:

Standar Kuantitas adalah batasan kuantitas jam tenaga kerja langsung yang digunakan untuk menghasilkan satu unit produk jadi.

Standar tariff tenaga kerja langsung adalah batasan tariff upah per jam tenaga kerja langsung yang dianggarkan.

Biaya Standar Overhead Pabrik (Variabel) = Standar Kuantitas x Standar Tarif

Catatan:

Standar Kuantitas adalah batasan kuantitas jam overhead pabrik yang dikeluarkan untuk menghasilkan satu unit produk jadi.

Standar tariff overhead pabrik adalah batasan tariff overhead pabrik per jam overhead pabrik yang dianggarkan.

Cost Profit Volume : Break Even Point

Analisa Titik Impas

Titik Pulang Pokok atau Titik Impas atau Break Even Point (BEP) adalah suatu titik yang menggambarkan kondisi pada saat itu Total Biaya ( Total Cost ) sama besar dengan Total Pendapatan (Total Revenue).

Total Biaya adalah penjumlahan antara Biaya Tetap dan Biaya Variabel

Biaya Tetap adalah sejumlah biaya yang perubahannya tidak dipengaruhi oleh volume produksi tetapi dikarenakan oleh adanya faktor waktu.
Contoh :

Gaji manager per bulan, Sewa gedung per tahun dsb.

Biaya Variabel adalah sejumlah biaya yang perubahannya dipengaruhi oleh volume produksi, sehingga membentuk fungsi biaya variable.

Contoh :

Bahan baku per unit, Tenaga Kerja Langsung per unit.

Total Pendapatan adalah hasil perkalian antara kuantitas yang terjual dengan harga per unit.

Rumus Titik Impas dalam Unit =


Biaya tetap

---------------------------------------

Harga/unit – Biaya variable/unit



Rumus Titik Impas dalam Rupiah :

Biaya Tetap ( Fixed Cost )

------------------------------------------------------------------

{ 1 – ( Biaya Variabel per unit / Harga Jual per unit ) }


Ilustrasi 1 :

Panitia penyelenggara Fa. Tahan Krisis akan mendatangkan artis penyanyi dari luar negeri. Perhitungan kasar yang akan dikeluarkan untuk melangsungkan acara pertunjukan musik tersebut, adalah :

Honor Penyanyi Rp. 50.000.000,-

Honor Band Rp. 30.000.000,-

Sewa tempat dan panggung ( dengan kapasitas 2.500 penonton ) Rp. 87.500.000,-

Brosur, cetak tiket dan iklan lainnya Rp. 20.000.000,-

Snack dan minuman per orang Rp. 25.000,-

Dengan harga karcis masuk Rp. 150.000,- per orang penonton


BEP ( Break Even Point-Titik Impas) dalam jumlah penonton :

Rp. 50.000.000 + Rp.30.000.000,-+Rp.87.500.000 + Rp. 20.000.000,-
------------------------------------------------------------------------------

Rp.150.000,-/orang - Rp. 25.000/orang

= 1.500 orang penonton


BEP dalam Rupiah

Rp. 187.500.000,-

---------------------------------------------------

1 – ( Rp. 25.000/orang : Rp. 150.000/orang )

= Rp. 187.500.000 / 83,33 = Rp. 225.090.036,-


Ilustrasi 2 :

Nusantara Sakti, Co memproduksi dan menjual mesin penghisap debu. Laporan Rugi Laba yang disusun dengan format kontribusi, sbb :


Penjualan ( 400 unit)==Rp. 2.400.000,-===Rp. 6.000,-==100%
Biaya variabel=======Rp. 1.800.000,-===Rp. 4.500,-== ..... %
Margin Kontribusi====Rp. 600.000,-====Rp. 1.500,-===......%
Biaya Tetap========Rp. 480.000,-
Laba Bersih========Rp. 120.000,-

Instruksi dan Solusi :

a. Rasio Margin Kontribusi

* Rp. 1.500/Rp.6.000,- x100% = 25%

b. Rasio Biaya Variabel

* Rp.4.500,-/Rp.6.000,- x 100% = 75%

c. Titik Impas, dengan rumus Penjualan = BV + BT + Laba

* 6.000 Q = 4.500 Q+ Rp. 480.000,- + 0
* 1.500 Q = Rp. 480.000,-
* Q BEP = 320 unit atau Rp. 1.920.000,-

Activity Based Costing-ABC

Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas merupakan salah satu metode perhitungan biaya alternative untuk menunjukan kepada perhitungan biaya tradisional bahwa tidak semua biaya ditentukan berdasarkan pada jumlah unit produksi. Tetapi ada juga beberapa biaya diantaranya lebih tepat dihitung berdasarkan aktivitas yang menimbulkan biaya tersebut.
Perbedaan lebih banyak terjadi pada perhitungan biaya overhead pabrik, karena dalam perhitungan biaya bahan baku dan tenaga kerja langsung hasilnya tetap sama.
Dalam sistem ABC dikenal apa yang dinamakan dengan cost driver ( pemicu biaya), cost driver inilah yang digunakan untuk menghitung besarnya aktivitas biaya yang terjadi di suatu objek biaya.

Dalam perhitungannya cost driver mencakup tingkatan agregasi yang berbeda dalam suatu lingkungan produksi. Tingkatan agregasi tersebut meliputi tingkatan unit, tingkatan batch, tingkatan produk dan yang terakhir tingkatan pabrik.

Departementalisasi, Metode Simultan

Departementalisasi
Metode Simultan/Aljabar(Algebra)

Penggunaan biaya overhead pabrik tidak hanya untuk departemen produksi tetapi juga untuk departemen jasa. Depatemen produksi dan departemen jasa dipisahkan karena memang peranan kedua departemen tersebut berbeda, departemen produksi bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan aktivitas produksi yang menjalankan fungsi produksi bagi perusahaan tersebut. Sedangkan departemen jasa berfungsi membantu atau mensupport kelancaran dari aktivitas produksi.
Biaya overhead pabrik di departemen jasa harus didistribusikan ke departemen produksi karena sebenarnya biaya overhead pabrik tersebut memang dikeluarkan untuk mensupport kegiatan produksi di departemen produksi. Dengan kata lain bahwa biaya overhead pabrik di departemen jasa merupakan biaya overhead pabrik tidak langsung, karena yang sifatnya tidak dapat ditelusuri secara langsung ke objek biaya.

Kemudian dengan memperhatikan cara atau metode biaya overhead pabrik tersebut didistribusikan ke departemen produksi terdapat tiga methode yang sudah kita kenal dan salah satunya adalah metode simultan (Algebra Method). Dikatakan metode simultan atau aljabar karena dalam perhitungannya menggunakan rumus-rumus aljabar walaupun dipilih yang sangat sederhana yang digunakan untuk membantu menyelesaikan perhitungan pendistribusiannya.

Cara pendistribusian biaya overhead pabrik dari departemen jasa ke departemen produksi pada metode simultan adalah :

* Distribusikan biaya overhead pabrik di departemen jasa ke departemen produksi berdasarkan abjad atau urutan yang ditentukan dalam kebijakan perusahaan.
* Antar departemen jasa dapat saling memberi dan menerima biaya overhead pabrik dari departemen jasa lainnya.
* Total biaya overhead pabrik di departemen produksi adalah todal biaya overhead pabrik sendiri ditambahkan dengan total biaya overhead pabrik yang diterima dari hasil pendistribusian dari departemen jasa.

Departementalisasi Metode Bertahap/Bertingkat

Penggunaan biaya overhead pabrik tidak hanya untuk departemen produksi tetapi juga untuk departemen jasa. Depatemen produksi dan departemen jasa dipisahkan karena memang peranan kedua departemen tersebut berbeda, departemen produksi bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan aktivitas produksi yang menjalankan fungsi produksi bagi perusahaan tersebut. Sedangkan departemen jasa berfungsi membantu atau mensupport kelancaran dari aktivitas produksi.
Biaya overhead pabrik di departemen jasa harus didistribusikan ke departemen produksi karena sebenarnya biaya overhead pabrik tersebut memang dikeluarkan untuk mensupport kegiatan produksi di departemen produksi. Dengan kata lain bahwa biaya overhead pabrik di departemen jasa merupakan biaya overhead pabrik tidak langsung, karena yang sifatnya tidak dapat ditelusuri secara langsung ke objek biaya.

Kemudian dengan memperhatikan cara atau metode biaya overhead pabrik tersebut didistribusikan ke departemen produksi terdapat tiga methode yang sudah kita kenal dan salah satunya adalah metode bertahap/bertingkat(Step Method).

Cara pendistribusian biaya overhead pabrik dari departemen jasa ke departemen produksi dengan metode bertahap adalah :

* Distribusikan biaya overhead pabrik di departemen jasa ke departemen produksi berdasarkan abjad atau urutan yang ditentukan dalam kebijakan perusahaan.
* Departemen jasa yang sudah pernah menerima pendistribusian biaya overhead pabrik dari departemen jasa yang satu tidak diperbolehkan balas memberi biaya overhead pabriknya kepada departemen jasa yang sudah memberinya tersebut.
* Total biaya overhead pabrik di departemen produksi adalah todal biaya overhead pabrik sendiri ditambahkan dengan total biaya overhead pabrik yang diterima dari hasil pendistribusian dari departemen jasa.

Departementalisasi, Metode Langsung

Penggunaan biaya overhead pabrik tidak hanya untuk departemen produksi tetapi juga untuk departemen jasa. Depatemen produksi dan departemen jasa dipisahkan karena memang peranan kedua departemen tersebut berbeda, departemen produksi bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan aktivitas produksi yang menjalankan fungsi produksi bagi perusahaan tersebut. Sedangkan departemen jasa berfungsi membantu atau mensupport kelancaran dari aktivitas produksi.

Biaya overhead pabrik di departemen jasa harus didistribusikan ke departemen produksi karena sebenarnya biaya overhead pabrik tersebut memang dikeluarkan untuk mensupport kegiatan produksi di departemen produksi. Dengan kata lain bahwa biaya overhead pabrik di departemen jasa merupakan biaya overhead pabrik tidak langsung, karena yang sifatnya tidak dapat ditelusuri secara langsung ke objek biaya.

Kemudian dengan memperhatikan cara atau metode biaya overhead pabrik tersebut didistribusikan ke departemen produksi terdapat tiga methode yang sudah kita kenal dan salah satunya adalah metode langsung (Direct Method).

Cara pendistribusian biaya overhead pabrik dari departemen jasa ke departemen produksi dengan metode langsung adalah :

* Distribusikan biaya overhead pabrik di departemen jasa ke departemen produksi berdasarkan abjad atau urutan yang ditentukan dalam kebijakan perusahaan.
* Antar depatemen jasa tidak saling memberi dan menerima biaya overhead pabrik dari departemen jasa..
* Total biaya overhead pabrik di departemen produksi adalah todal biaya overhead pabrik sendiri ditambahkan dengan total biaya overhead pabrik yang diterima dari hasil pendistribusian dari departemen jasa.

Backflushing Costing

Backflushing Costing

Untuk beberapa kasus produksi adakalanya proses produksi berlangsung sedemikian cepatnya sehingga pencatatan akuntansi tradisional dirasakan tidaklah memadai lagi, karena selalu ketinggalan. Ketika akuntansi tradisional baru mencatat kejadian pembelian bahan baku padahal pada saat yang hampir bersamaan, produk yang sedang dicatat bahan bakunya itu sudah terjual dipasar sehingga menimbulkan masalah dalam pencatatannya.

Untuk menjawab persoalan tersebut, maka kemudian muncullah pendekatan akuntansi terbaru berupa penyingkatan aliran biaya perusahaan manufaktur dan sangat tepat digunakan bebarengan Just in Time.

Karakteristik Backflushing Costing:

* Bahan baku yang diterima dari pemasok, dicatat di debet akun RIP ( Raw and in Process )
* Penggunaan tenaga kerja langsung, dicatat di debet akun Harga Pokok Penjualan
* Komponen biaya bahan baku atas produk selesai di backflush dari RIP
* Komponen biaya bahan baku atas produk terjual di backflush dari Barang Jadi
* Diperlukan penyesuaian biaya konversi

Just in Time

Just-In-Time (JIT) filosofinya adalah adanya kebijakan terhadap persediaan berupa keinginan yang sangat kuat untuk tetap mempertahankan tingkat persediaan zero atau hampa persediaan. Idenya berangkat dari persediaan merupakan salah satu biaya yang dapat dikurangi bahkan dapat dihapus jika persediaan tidak ada. Persediaan disini maksudnya adalah baik persediaan bahan baku, barang dalam proses maupun persediaan barang jadi. Untuk mewujudkan suatu tingkat persediaan yang demikian bukanlah usaha yang mudah. Coba bayangkan, pada saat akan produksi bahan baku harus sudah tersedia pada hal bahan baku di gudang sendiri kosong, yang ada digudang supplier. Kemudian juga bayangkan, pada saat hasil produksi sudah selesai harus sudah ada yang membelinya atau konsumen dengan sistem indent. Kesulitan JIT ini adalah mempertahankan konsistensi pemasokan bahan baku dan konsistensi penjualan.


Perencanaan Bahan Baku

Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa ciri-ciri perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur adalah selalu adanya bahan baku. Karena jumlahnya yang besar dan penting maka bahan baku harus dimanage sehingga jumlah bahan baku yang dipertahankan oleh perusahaan jangan terlalu banyak atau terlalu sedikit.

Biaya-biaya yang menyangkut pengadaan bahan baku adalah biaya pesan (order cost) dan biaya simpan ( carrying cost). Logikanya terlalu sering memesan bahan baku dampaknya akan terlalu tinggi biaya pesan dan rendah pada biaya simpan. Demikian juga, terlalu jarang memesan bahan baku maka dampaknya akan tinggi pada biaya simpan, dan rendah pada biaya pesan.


Alokasi Biaya Gabungan, Biaya Rata-Rata Tertimbang per unit

Biaya produksi yang dikeluarkan untuk membiayai beberapa produk secara bersama-sama dinamakan dengan biaya gabungan (joint cost). Biaya gabungan ini akan menjadi tidak matching kalau hanya dibebankan pada satu jenis produk saja, padahal biaya tersebut dinikmati secara bersama-sama. Maka dengan demikian cocoknya biaya gabungan ini harus dialokasikan kesemua produk yang ada berdasarkan jumlah unit yang diproduksi. Cuma bedanya dengan adanya pembobotan yang diberikan pada setiap produk yang mencerminkan posisi kepentingan perusahaan terhadap produk-produk tersebut.

Formula :

Alokasi biaya gabungan=BIAYA GABUNGAN/RATA2 TERTIMBANG

Ilustrasi:

Biaya produksi untuk memproduksi produk P, Q, R dan S sebesar Rp. 2.000.000,- Hasil produksi yang diperoleh adalah produk P sebanyak 100 unit, Q sebanyak 200 unit, R sebanyak 150 unit dan S sebanyak 50 unit. Pembobotan yang diberikan adalah produk P sebesar 5 poin, Q sebesar 3 poin, R sebesar 10 poin dan yang terakhir produk S sebesar 4 poin.

Solusi:

Produk .. Unit.. Poin.. Rata2 Tertimbang.. Biaya/unit.. Alokasi

P........... 100..... 5 ............ 500.............. Rp. 800,- ...Rp. 400.000,-

Q .......... 200 .... 1,5.......... 300 ............. Rp. 800,-.... Rp. 240.000,-

R .......... 150 .... 10.......... 1.500 ............ Rp. 800,-... Rp. 1.200.000,-

S .............50 ......4............ 200.............. Rp. 800,-... Rp. 160.000,-

Total ............................. 2.500................................ Rp. 2.000.000,-

Alokasi = Rp.2.000.000,-/2.500 = Rp. 800,-per unit

Alokasi Joint Cost, Metode Rata-Rata per Unit

Biaya produksi yang dikeluarkan untuk membiayai beberapa produk secara bersama-sama dinamakan dengan biaya gabungan (joint cost). Biaya gabungan ini akan menjadi tidak matching kalau hanya dibebankan pada satu jenis produk saja, padahal biaya tersebut dinikmati secara bersama-sama. Maka dengan demikian cocoknya biaya gabungan ini harus dialokasikan kesemua produk yang ada berdasarkan jumlah unit yang diproduksi.Formula : Biaya rata2/unit = BIAYA GABUNGAN/UNIT PRODUKSI

Ilustrasi:

Biaya produksi untuk memproduksi produk P, Q, R dan S sebesar Rp. 2.000.000,- Hasil produksi yang diperoleh adalah produk P sebanyak 100 unit, Q sebanyak 200 unit, R sebanyak 150 unit dan S sebanyak 50 unit.

Solusi:

Biaya rata2 /unit = Rp. 2.000.000/500 unit = Rp. 4.000,- per unit

Produk Unit Produksi Alokasi Biaya Gabungan

P.............. 100............. Rp. 400.000,-

Q ............. 200............. Rp. 800.000,-

R ............. 150............. Rp. 600.000,-

S................ 50............. Rp. 200.000,-

Total ...... 500......... Rp. 2.000.000,-

Konklusi:

Produk P menerima alokasi biaya produksi bersama adalah sebesar Rp. 400.000,-, Q sebesar Rp. 800.000,-, R sebesar Rp. 600.000,- dan S hanya menerima sebesar Rp. 200.000,- saja.


Alokasi Joint Cost, Metode Harga Pasar

Alokasi Biaya Gabungan, Metode Harga Pasar

Biaya gabungan yang sudah digunakan bersama-sama untuk menghasilkan sejumlah produk harus ditentukan biayanya untuk masing-masing produk. Karena tidaklah tepat kalau joint cost ini hanya dibebankan pada produk saja padahal biayanya dipakai untuk beberapa produk.

Salah satu metode mengalokasi biaya gabungan ini adalah dengan menggunakan harga pasar masing-masing produk karena dengan menggunakan harga pasar yang netral maka tidak akan mengganggu aspek profitabilitas masing-masing produk tersebut.

Ada dua kondisi dalam penghitungan alokasi biaya gabungan untuk produk gabungan ini, yaitu:

* Produk gabungan dapat dijual di titik pisah
* Produk gabungan dijual setelah di titik pisah


Produk Sampingan, Reversal Cost

Produk Sampingan, Reversal Cost

Dengan reversal cost digunakan asumsi bahwa estimasi laba kotor dan estimasi nilai produk sampingan dibebankan ke produk utama. Sehingga biaya produksi produk utama menjadi semakin kecil karena ada hasil bersih yang diperoleh produk sampingan.

Disisi lain kita juga bisa memperoleh harga pokok di titik pisah batas dengan cara menghitung mundur, mulai dari harga jual pasar final dikurangkan dengan estimasi laba kotor dan harga pokok setelah titik pisah batas.


Produk Utama dan Sampingan

Produk Utama versus Produk Sampingan

Dalam suatu kondisi dimana perusahaan memproduksi beberapa produk yang berbeda-beda, baik jenis, ukuran maupun kepentingan yang ada dibalik kegiatan produksi tersebut, maka skala prioritas menjadi issue yang penting. Lazimnya perusahaan tidak mampu memfokuskan seluruh perhatiannya kepada semua produk yang dihasilkan dan secara teknis juga dibatasi oleh kendala teknologi, sehingga timbul istilah produk andalan dan produk sampingan.

Karakteristik Produk Utama, produk utama adalah produk penting dan menjadi tujuan utama dari target pemasaran perusahaan. Proses produksipun disetting sepenuhnya untuk menghasilkan produk andalan ini. Sebagian besar biaya produksi yang telah dikeluarkan digunakan untuk mendukung produksi produk utama ini.

Karakteristik Produk Sampingan, produk sampingan adalah produk yang dihasilkan secara bersama-sama dengan produk utama. Produk sampingan ini merupakan produk yang tidak dapat dihindari dari hasil setting produk utama tersebut, dan mau tidak mau harus diterima sebagai konsekuensi dari tujuan produksi.

Akuntansi barang rusak, metode proses

Akuntansi Kerugian dalam Aktivitas Produksi-Metode Biaya Proses


Selama berlangsungnya aktivitas produksi tidak luput dari adanya kesalahan, kelalaian, kealpaan, kelupaan yang menimbulkan adanya kerugian yang tak terhindarkan, baik kerugian yang bersifat materiil maupun kerugian waktu. Sebagaimana kita maklumi, dalam metode biaya proses maka kerugian yang terjadi lebih banyak datang dari perusahaan sendiri bukan dari pelanggan. Pelanggan dalam hal ini sebagai pihak luar tidak dapat melakukan intervensi secara nyata atas pekerjaan yang sedang diselesaikan oleh pihak perusahaan.

Pembebanan biaya karena adanya kerugian produksi berupa adanya kegagalan yang berasal dari dalam perusahaan sendiri ( internal ) maka biayanya dibebankan ke pengendali overhead pabrik.

Perhitungan biaya dengan metode Proses

Akuntansi Kerugian dalam Aktivitas Produksi, Metode Biaya Pesanan


Selama berlangsungnya aktivitas produksi tidak luput dari adanya kesalahan, kelalaian, kealpaan, kelupaan yang menimbulkan adanya kerugian yang tak terhindarkan, baik kerugian yang bersifat materiil maupun kerugian waktu. Sebagaimana kita maklumi, dalam metode pesanan maka kerugian yang terjadi lebih banyak datang dari perusahaan sendiri bukan dari pelanggan. Pelanggan dalam hal ini sebagai pihak luar tidak dapat melakukan intervensi atas pekerjaan yang sedang diselesaikan.
Pembebanan biaya karena adanya kerugian produksi amat tergantung pada pihak mana yang menimbulkan kegagalan tersebut. Kalau kegagalan produksi datang dari pihak luar atau pelanggan, maka biaya dibebankan ke pelanggan namun bila kegagalan datang dari dalam perusahaan sendiri ( internal ) maka biayanyapun dibebankan ke perusahaan.

Akuntansi kerugian untuk metode pesanan, meliputi :

* Akuntansi untuk Bahan Baku Sisa
* Akuntansi untuk Barang Catat
* Akuntansi untuk Pengerjaan Kembali

Akuntansi untuk Bahan Baku Sisa
Accounting for Scrap

Bahan baku sisa terdiri atas bahan baku sisa atau tertinggal sewaktu pelaksanaan proses produksi, bahan baku cacat atau bahan baku yang rusak karena kecerobohan atau kelalaian karyawan. Bahan baku sisa yang mempunyai nilai ekonomis sebaiknya disimpan dan dikumpulkan walapun tidak ada biaya yang dibebankan ke persediaan bahan baku sisa tersebut. Hasil penjualan persediaan bahan baku sisa dapat dipertanggungjawabkan dengan berbagai cara, yaitu sebagai berikut :

Sebagai penambah penjualan, berupa penjualan bahan baku sisa

* Contoh :
* CV Empat Sekawan berusaha dibidang furniture dan selalu mengumpulkan serpihan kayu dan menjualnya seharga Rp. 600.000,-
* Jurnal :
* D : Kas/Piutang Dagang Rp. 600.000,-
* K : Penjualan Bahan Baku Sisa/Pendapatan Lain-Lain Rp. 600.000,-

Sebagai pengurang Harga Pokok Penjualan

* Jurnal :
* D : Kas/Piutang Dagang Rp. 600.000,-
* K : Harga Pokok Penjualan====== Rp. 600.000,-

Sebagai pengurang Pengendali Overhead Pabrik

* D : Kas/Piutang Dagang Rp. 600.000,-
* K : Pengendali Overhead Pabrik=== Rp. 600.000,-

Sebagai pengurang Barang Dalam Proses (BDP)

* D : Kas/Piutang Dagang Rp. 600.000,-
* K : barang Dalam Proses Rp. 600.000,-


Akuntansi untuk Barang Cacat
Accounting for Spoiled Goods

Barang cacat berbeda dengan bahan baku sisa. Barang cacat adalah barang atau unit yang selesai atau setengah selesai namun dalam beberapa hal tertentu ada cacat disana. Barang cacat dari aspek teknis tidak dapat diperbaiki atau dapat diperbaiki namun secara ekonomis tidaklah menguntungkan.
Pencatatan untuk barang cacat sangat ditentukan pada penyebab dari kecacatannya, yaitu :

Disebabkan oleh pelanggan
Biaya kecacatan menjadi tanggung jawab pelanggan dan dimasukkan ke dalam Akun Persediaan Barang Cacat. Ujud dari tanggung jawab pelanggan adalah berupa nilai pembelian yang lebih besar dari yang seharusnya.

* Ilustrasi :
* Pesanan No.707 mengenai pembuatan 100 kursi putar dengan desain khusus. Setelah dikerjakan sebanyak 10 kursi tiba-tiba pelanggan merubah spesifikasi kursi sehingga 10 kursi yang sudah diproduksi tersebut menjadi barang cacat. Namun meskipun demikian kursi cacat tersebut masih dapat dijual dengan harga Rp. 10.000,- per kursi. Sehingga dengan adanya kejadian tersebut maka perusahaan terpaksa harus memproduksi kursi putar sebanyak 110 unit ( 100 kursi yang sesuai dengan pelanggan ditambah 10 kursi yang cacat).

* Total Biaya dibebankan ke pesanan no.707 adalah :
* Bahan Baku Langsung....Rp. 1.1.00.000,-
* Tenaga Kerja Langsung..Rp. 900.000,-
* Overhead Parik...............Rp. 750.000,-
* Jumlah keseluruhan.......Rp. 2.750.000,-

Solusi :

* Jurnal pada saat transfer barang selesai :
* D : Persediaan Barang Catat Rp. 100.000,-
* D : Harga Pokok Penjualan= Rp. 2.650.000,-
* K : Barang Dalam Proses===== Rp. 2.750.000,-

* Jurnal pada saat penjualan dengan mark up 50% dari HPP
* D : Kas/Piutang Dagang=== Rp. 4.075.000,-
* K : Penjualan============= Rp. 3.975.000,-
* K : Persediaan Barang Catat=== Rp. 100.000,-


Disebabkan oleh kegagalan internal :
Karyawan telah melakukan kelalaian, kecerobohan atau sebab-sebab internal lainnya yang mengakibatkan kecacatan pada produk. Kerugian dari produk cacat yang tidak dapat ditutup dari hasil penjualan dibebankan sebagai penambah pengendalian overhead pabrik.

Solusi :

* Jurnal pada saat transfer barang selesai :
* D : Persediaan Barang Catat== Rp. 100.000,-
* D : Pengendali Overhead Pabrik Rp. 150.000,-
* D : Harga Pokok Penjualan=== Rp. 2.500.000,-
* K : Barang Dalam Proses======= Rp. 2.750.000,-

* Jurnal pada saat penjualan dengan mark up 50% dari HPP
* D : Kas/Piutang Dagang===== Rp. 3.850.000,-
* K : Penjualan=============== Rp. 3.750.000,-
* K : Persediaan Barang Catat===== Rp. 100.000,-

Akuntansi barang rusak, metode pesanan

Akuntansi Kerugian dalam Aktivitas Produksi, Metode Biaya Pesanan


Selama berlangsungnya aktivitas produksi tidak luput dari adanya kesalahan, kelalaian, kealpaan, kelupaan yang menimbulkan adanya kerugian yang tak terhindarkan, baik kerugian yang bersifat materiil maupun kerugian waktu. Sebagaimana kita maklumi, dalam metode pesanan maka kerugian yang terjadi lebih banyak datang dari perusahaan sendiri bukan dari pelanggan. Pelanggan dalam hal ini sebagai pihak luar tidak dapat melakukan intervensi atas pekerjaan yang sedang diselesaikan.

Pembebanan biaya karena adanya kerugian produksi amat tergantung pada pihak mana yang menimbulkan kegagalan tersebut. Kalau kegagalan produksi datang dari pihak luar atau pelanggan, maka biaya dibebankan ke pelanggan namun bila kegagalan datang dari dalam perusahaan sendiri ( internal ) maka biayanyapun dibebankan ke perusahaan.

Akuntansi kerugian untuk metode pesanan, meliputi :

* Akuntansi untuk Bahan Baku Sisa
* Akuntansi untuk Barang Catat
* Akuntansi untuk Pengerjaan Kembali

Akuntansi untuk Bahan Baku Sisa
Accounting for Scrap

Bahan baku sisa terdiri atas bahan baku sisa atau tertinggal sewaktu pelaksanaan proses produksi, bahan baku cacat atau bahan baku yang rusak karena kecerobohan atau kelalaian karyawan. Bahan baku sisa yang mempunyai nilai ekonomis sebaiknya disimpan dan dikumpulkan walapun tidak ada biaya yang dibebankan ke persediaan bahan baku sisa tersebut. Hasil penjualan persediaan bahan baku sisa dapat dipertanggungjawabkan dengan berbagai cara, yaitu sebagai berikut :

Sebagai penambah penjualan, berupa penjualan bahan baku sisa

* Contoh :
* CV Empat Sekawan berusaha dibidang furniture dan selalu mengumpulkan serpihan kayu dan menjualnya seharga Rp. 600.000,-
* Jurnal :
* D : Kas/Piutang Dagang Rp. 600.000,-
* K : Penjualan Bahan Baku Sisa/Pendapatan Lain-Lain Rp. 600.000,-

Sebagai pengurang Harga Pokok Penjualan

* Jurnal :
* D : Kas/Piutang Dagang Rp. 600.000,-
* K : Harga Pokok Penjualan====== Rp. 600.000,-

Sebagai pengurang Pengendali Overhead Pabrik

* D : Kas/Piutang Dagang Rp. 600.000,-
* K : Pengendali Overhead Pabrik=== Rp. 600.000,-

Sebagai pengurang Barang Dalam Proses (BDP)

* D : Kas/Piutang Dagang Rp. 600.000,-
* K : barang Dalam Proses Rp. 600.000,-


Akuntansi untuk Barang Cacat
Accounting for Spoiled Goods

Barang cacat berbeda dengan bahan baku sisa. Barang cacat adalah barang atau unit yang selesai atau setengah selesai namun dalam beberapa hal tertentu ada cacat disana. Barang cacat dari aspek teknis tidak dapat diperbaiki atau dapat diperbaiki namun secara ekonomis tidaklah menguntungkan.
Pencatatan untuk barang cacat sangat ditentukan pada penyebab dari kecacatannya, yaitu :

Disebabkan oleh pelanggan
Biaya kecacatan menjadi tanggung jawab pelanggan dan dimasukkan ke dalam Akun Persediaan Barang Cacat. Ujud dari tanggung jawab pelanggan adalah berupa nilai pembelian yang lebih besar dari yang seharusnya.

* Ilustrasi :
* Pesanan No.707 mengenai pembuatan 100 kursi putar dengan desain khusus. Setelah dikerjakan sebanyak 10 kursi tiba-tiba pelanggan merubah spesifikasi kursi sehingga 10 kursi yang sudah diproduksi tersebut menjadi barang cacat. Namun meskipun demikian kursi cacat tersebut masih dapat dijual dengan harga Rp. 10.000,- per kursi. Sehingga dengan adanya kejadian tersebut maka perusahaan terpaksa harus memproduksi kursi putar sebanyak 110 unit ( 100 kursi yang sesuai dengan pelanggan ditambah 10 kursi yang cacat).

* Total Biaya dibebankan ke pesanan no.707 adalah :
* Bahan Baku Langsung....Rp. 1.1.00.000,-
* Tenaga Kerja Langsung..Rp. 900.000,-
* Overhead Parik...............Rp. 750.000,-
* Jumlah keseluruhan.......Rp. 2.750.000,-

Solusi :

* Jurnal pada saat transfer barang selesai :
* D : Persediaan Barang Catat Rp. 100.000,-
* D : Harga Pokok Penjualan= Rp. 2.650.000,-
* K : Barang Dalam Proses===== Rp. 2.750.000,-

* Jurnal pada saat penjualan dengan mark up 50% dari HPP
* D : Kas/Piutang Dagang=== Rp. 4.075.000,-
* K : Penjualan============= Rp. 3.975.000,-
* K : Persediaan Barang Catat=== Rp. 100.000,-


Disebabkan oleh kegagalan internal :
Karyawan telah melakukan kelalaian, kecerobohan atau sebab-sebab internal lainnya yang mengakibatkan kecacatan pada produk. Kerugian dari produk cacat yang tidak dapat ditutup dari hasil penjualan dibebankan sebagai penambah pengendalian overhead pabrik.

Solusi :

* Jurnal pada saat transfer barang selesai :
* D : Persediaan Barang Catat== Rp. 100.000,-
* D : Pengendali Overhead Pabrik Rp. 150.000,-
* D : Harga Pokok Penjualan=== Rp. 2.500.000,-
* K : Barang Dalam Proses======= Rp. 2.750.000,-

* Jurnal pada saat penjualan dengan mark up 50% dari HPP
* D : Kas/Piutang Dagang===== Rp. 3.850.000,-
* K : Penjualan=============== Rp. 3.750.000,-
* K : Persediaan Barang Catat===== Rp. 100.000,-

Perhitungan biaya dengan metode Pesanan

Sistem Biaya Pesanan

Perhitungan biaya dengan menggunakan sistem biaya pesanan sudah dikenal luas dan sangat mudah dalam penerapannya. Baiklah, bagi yang baru mendengar atau dulu tahu sekarang sudah lupa mengenai sistem pesanan ini, maka kita akan coba mereview kembali seperti apa gerangan sistem biaya pesanan tersebut.
Adapun landasan dikerjakannya sistem biaya pesanan adalah sifat produk yang spesial yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan yang melaksanakan sistem pesanan.




Karakteristik Sistem Biaya Pesanan:

Produk yang dihasilkan bersifat hetrogen.
Masing-masing pesanan dibuatkan kartu pesanan dan semua biaya yang dikeluarkan harus dimasukkan kedalam kartu pesanan tersebut.
Proses produksi pada pehitungan biaya pesanan bersifat intermitten, artinya proses produksinya terputus-putus atau terhenti tergantung pada frekuensi pesanan.



Akuntansi yang dikembangkan untuk mencatat transaksi dari sistem biaya pesanan, adalah sebagai berikut:

· Akuntansi untuk Bahan Baku

· Akuntansi untuk Tenaga Kerja Langsung

· Akuntansi untuk Overhead Pabrik

· Akuntansi untuk Produk Selesai dan Terjual

· Kartu Pesanan ( Job Order Sheets)

Akuntansi Produk Selesai dan Produk terjual

Produk yang sudah di proses produksi kemudian diangkut ke gudang sambil menunggu saat penjualan kepada konsumen. Kegiatan tersebut mencatat dua jurnal, yaitu:


Illustrasi:


Barang selesai di proses produksi di trander ke gudang barang jadi senilai Rp. 5.000.000,- dan kemudian dijual secara kredit dengan total penjualan Rp. 6.000.000
Solusi:


Saat mencatat transfer produk selesai:


D: Barang Jadi======= Rp 5.000.000,-

K: Barang Dalam Proses========= Rp. 5.000.000,-


Saat mencatat hasil penjualan:


D: Piutang Dagang==== Rp. 6.000.000,-

K: Penjualan================= Rp. 6.000.000,-


Saat mencatat harga pokok penjualan:


D: Harga Pokok Penjualan Rp. 5.000.000,-

K: Barang jadi================ Rp. 5.000.000,-


Illustrasi:


Barang selesai di proses produksi senilai Rp. 5.000.000,- dan langsung dijual secara kredit dengan total penjualan Rp. 6.000.000,-


Solusi:


Saat mencatat hasil penjualan:


D: Piutang Dagang===== Rp. 6.000.000,-

K: Penjualan================ Rp. 6.000.000,-


Saat mencatat harga pokok penjualan:


D: Harga Pokok Penjualan= Rp. 5.000.000,-

K: Barang Dalam Proses========= Rp. 5.000.000,-


Pembebanan Underapplied/Overapplied ke akun Persediaan

Terjadinya Under/Overapplied karena adanya ke kekurangan/kelebihan antara Overhead aktual dengan Overhead pabrik standarkeadaan tersebut harus disesuaikan dengan laporan rugi laba dengan melakukan beberapa koreksi.


* Underapplied terjadi karena overhead aktual lebih besar daripada overhead budget
* Overapplied terjadi karena overhead aktual lebih besar daripada overhead budget

Adanya Over/Applied dibebankan ke Harga Pokok Penjualan, Barang Dalam Proses dan Barang Jadi


Tarif Overhead dibebankan

Pemilihan metode perhitungan tarif overhead pabrik menjadi masalah yang sangat penting karena ketidak tepatan dalam pemilihan dasar pembebanan overhead pabrik akan berdampak pada ketidak tepatan pada kebijakan perusahaan selanjutnya.

Memang ada beberapa metode perhitungan tarif overhead pabrik yang sudah kita kenal, dan dalam pemilihan metode perhitungan yang tepat adalah amat bergantung pada orientasi yang dianut perusahaan.
* Orientasi pada hasil produksi, dasar overheadnya jumlah unit
* Orientasi pada tenaga kerja, dasar overheadnya tenaga kerja atau jam tenaga kerja,
* Orientasi pada teknologi, dasar overheadnya jam mesin
* Orientasi pada bahan baku, dasar overheadnya biaya bahan baku

Rumus yang kita peroleh adalah :

1. Overhead pabrik/unit = Estimasi BOP/Estimasi unit produksi

2. Overhead pabrik sebagai %tase dari biaya tenaga kerja langsung = Estimasi BOP/Estimasi jumlah biaya tenaga kerja langsung

3. Overhead pabrikberdasarkan jam tenaga kerja langsung = Estimasi BOP/jam tenaga kerja langsung

4. Overhead pabrikberdasarkan jam mesin = Estimasi BOP/jam mesin

5. Overhead pabrik sebagai %tase dari biaya bahan langsung = Estimasi BOP/Estimasi jumlah biaya bahan langsung

Akuntansi untuk Overhead Pabrik

Overhead Pabrik adalah biaya yang mempunyai kaitan dengan proses produksi namun besarnya tidak dapat ditelusuri secara jelas dan tegas dengan kegiatan produksi. Overhead pabrik meliputi bahan baku tidak langsung, tenaga kerja tidak langsung dan factory cost. Factory cost merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mendukung atau mensupport kegiatan pabrik. Misalnya : sewa gudang pabrik, asuransi gudang pabrik, penyusutan pabrik, dstnya.

Namun dalam aplikasinya, overhead pabrik dibagi dua yaitu overhead pabrik aktual dan overhead pabrik dibebankan.

Overhead pabrik aktual, lazimnya digunakan akun pengendali overhead pabrik. Overhead pabrik aktual ini adalah overhead pabrik yang benar-benar terjadi untuk suatu periode akuntansi. Karena overhead pabrik telah terjadi maka jumlahnyapun adalah total overhead pabrik secara keseluruhan, bukan untuk setiap unit atau satuan yang lain.

Illustrasi :

Beban penyusutan pabrik Rp. 2.300.000,-

Beban asuransi pabrik Rp. 1.700.000,-

Solusi :

D: Pengendali overhead pabrik Rp. 4.000.000,-

K: Akumulasi penyusutan pabrik=== Rp. 2.300.000,-

K: Asuransi dibayar dimuka====== Rp. 1.700.000,-

Overhead pabrik dibebankan, lazimnya digunakan nama akun seperti itu. Berbeda dengan overhead pabrik aktual maka overhead pabrik dibebankan dihitung dengan tariff tertentu. Tariff tersebut sudah sering digunakan dan sudah diakui validitasnya. Namanya saja estimasi tentu tidak akan mendapatkan jumlah overhead pabrik yang sama besar dengan realisasi. Perbedaan terjadi dinamakan dengan Overapplied atau Underapplied.

Overapplied, terjadi bila overhead pabrik dibebankan > overhead pabrik aktual. Kelebihan tersebut dibebankan ke Harga Pokok Penjualan.

Illustrasi :

Masih dikaitkan dengan illustrasi diatas, ternyata overhead pabrik dibebankan sebesar Rp. 3.875.000,- ( 775 jam x Rp. 5.000,/jam-)

Solusi :

D: Barang Dalam Proses=== Rp. 3.875.000,-

K: Overhead pabrik dibebankan=== Rp. 3.875.000,-

Menentukan overapplied/underapplied, dari kedua illustrasi diatas diketahui bahwa telah terjadi underapplied sebesar Rp. 125.000,- karena overhead pabrik dibebankan <>

Solusi :

D: Overhead pabrik dibebankan Rp. 3.875.000,-

K: Pengendali overhead pabrik==== Rp. 3.875.000,-


D: Harga Pokok Penjualan==== Rp. 125.000,-

K: Pengendali overhead pabrik==== Rp. 125.000,-
Diposkan oleh Gen NT, SE Akuntan., MM di 09:08
Label: Akuntansi untuk Overhead Pabrik

Akuntansi untuk Tenaga Kerja Langsung

Akuntansi yang dikerjakan untuk mencatat lalu lintas pembayaran gaji dan upah tenaga kerja langsung dapat dilakukan dengan jurnal-jurnal sebagai berikut:

Saat perhitungan gaji dan upah tenaga kerja Rp.6.500.000,-

D: Beban Gaji dan Upah=== Rp. 6,500.000,-

K: Utang Gaji dan Upah============ Rp. 6,500.000,-

Saat pembayaran secara kas utang gaji dan upah tersebut sebesar Rp. 6,500.000,-D: Utang Gaji dan Upah=== Rp. 6.500.000,-

K: Kas======================== Rp.6.500.000,-

Saat mencatat pembebanan gaji administrasi sebesar Rp. 2.750.000,- sedangkan upah langsung sebesar Rp. 3.000.000,- dan sisanya adalah upah tidak langsung.

D: Beban gaji administrasi= Rp.2.750.000,-

D: Barang Dalam Proses== Rp. 3.000.000,-

D: Overhead Pabrik===== Rp. 750.000,-

K: Beban Gaji dan Upah=========== Rp. 6.500.000,-


Akuntansi untuk Bahan Langsung

Biaya-biaya yang menyangkut pengadaan bahan baku adalah biaya pesan (order cost) dan biaya simpan ( carrying cost). Logikanya terlalu sering memesan bahan baku dampaknya akan terlalu tinggi biaya pesan dan rendah pada biaya simpan. Demikian juga, terlalu jarang memesan bahan baku maka dampaknya akan tinggi pada biaya simpan, dan rendah pada biaya pesan.

Saat pembelian bahan baku secara tunai sebesar Rp. 1.500.000,-
D: Bahan baku== Rp. 1,500.000,-
K: Kas================= Rp. 1,500.000,-

Saat pembelian bahan baku secara kredit Rp. 2,000.000,-

D: Bahan baku== Rp. 2.000.000,-
K: Utang Dagang========== Rp. 2.000.000,-

Saat mencatat retur pembelian bahan baku yang tadinya dibeli secara kas sebesar Rp.350.000,-

D: Kas======== Rp. 350.000,-
K: Bahan baku=========== Rp. 350.000,-

Saat mencatat retur pembelian bahan baku yang tadinya dibeli secara kredit sebesar Rp.500.000,-

D: Utang Dagang= Rp. 500.000,-
K: Bahan baku=========== Rp. 500.000,-

Digunakan bahan baku langsung Rp. 800.000,- sedangkan bahan baku tidak langsung Rp. 95.000,-

Saat penggunaan bahan baku

D: Barang Dalam Proses Rp. 800.000,-
D: Overhead Pabrik=== Rp. 95.000,-
K: Bahan baku============= Rp. 895.000,-

Biaya Tetap, Biaya Variable dan Biaya Semivariabel

Dilihat dari aspek perilaku biaya atau perangai biaya maka biaya dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap, biaya variabel dan biaya semi variabel.


Biaya tetap, sejumlah biaya yang perubahan biayanya bukan ditentukan atau dipengaruhi oleh besarnya aktivitas operasional perusahaan. Contoh: beban sewa, beban penyusutan, beban bunga dst


Biaya variabel, sejumlah biaya yang perubahan biayanya ditentukan atau dipengaruhi oleh besarnya aktivitas operasional perusahaan. Contoh: bahan baku, bahan bakar, beban upah, dst.Biaya semi variabel, sejumlah biaya yang perubahan biayanya ditentukan dan sekaligus tidak ditentukan oleh besarnya aktivitas operasional perusahaan. Maksudnya suatu item biaya dalam jumlah tertentu sudah menjadi biaya tetap sedangkan selebihnya adalah unsur semi variabel. Contoh: biaya listrik ( listrik untuk penerangan = biaya tetap, listrik untuk menggerakkan mesin pabrik = biaya variabel ), biaya pemeliharaan kendaraan ( biaya pemeliharaan kendaraan yang rutin dikeluarkan, seperti ganti ban, ganti oli, overhaul = biaya tetap, sedangkan biaya yang dikeluarkan tidak rutin atau insidentil seperti meratakan bekas penyok diserempet bajaj atau metromini dan lain sebagainya = biaya variabel).


Biaya Produk versus Biaya Periodik

Adalagi pembagian biaya berdasarkan saat atau kapan pengakuan atas biaya tersebut terjadi, yaitu yang kita kenal dengan biaya produk dan biaya periodik.


Biaya produk diartikan sebagai biaya yang dimana saat pengakuan biayanya yaitu pada saat pembebanan biaya tersebut. Bahan baku dianggap sebagai biaya pada saat pembebanannya atau pada saat bahan baku tersebut diambil dari gudang dan kemudian dimasukkan ke proses produksi. Tenaga kerja langsung dianggap sebagai biaya pada saat selesai dikerjakan dan beban dibayarkan. Sedangkan overhead lazimnya memiliki sifat kedua2nya, baik sebagai biaya produk maupun sebagai biaya periodik. Intinya biaya produk tersebut adalah biaya yang jumlahnya dapat di link ke objek biayanya, dan link tersebut tidak error.
Biaya Periodik, ya sesuai dengan namanya biaya periodic merupakan biaya yang saat pengakuan biayanya harus dikaitkan atau diukur dengan horizon waktu, maksudnya ada biaya tertentu yang menghitung jumlahnya dari batasan lamanya waktu. Misalnya beban sewa yang dihitung besarnya berdasarkan lamanya pemakaian sewa yang dikurangi dari sewa dibayar dimuka. Beban sewa adalah unsur laporan rugi laba, sedangkan sewa dibayar dimuka adalah unsur neraca.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda